Ikatan Da'i Indonesia Ponorogo Menebar Islam Rahmatan Lil Alamain!

Jl. Soekarno Hatta Pasar Legi Selatan Lt. 2 Blok AD5 Ponorogo

  • PROGRAM IKADI
  • Download
  • DAFTAR JADI DONATUR
  • AGENDA IKADI PONOROGO

Jangan Pernah Lengah

Rasulullah SAW bersabda, ”Sesungguhnya, seorang mukmin akan selalu memandang dosanya seperti halnya orang yang duduk di bawah kaki gunung dan ia takut gunung itu akan runtuh menimpanya. Sedangkan, orang yang fajir (yang maknanya berlawanan dengan kata mukmin) akan memandang dosanya seperti seekor lalat yang terbang dan hinggap di batang hidungnya.” (HR Bukhari).
Lebih lanjut, Rasulullah SAW bersabda, ”Sesungguhnya Allah lebih gembira dengan taubat hamba-hamba-Nya, dibandingkan dengan seseorang yang turun pada satu tempat yang sudah hancur, sambil membawa air dan makanan di hewan tunggangannya. Tidak lama kemudian, ia menyandarkan kepalanya, lalu tertidur pulas. Ketika bangun, ia tidak menemukan hewan tunggangannya tersebut hingga ia diserang hawa panas sampai kehausan dan kelaparan. Ia lantas memasrahkan semuanya kepada Allah SWT. Setelah mencari ke sana ke mari dan tidak menemukan yang dicarinya, ia lantas berkata, ‘Aku akan kembali saja ke tempatku semula.’ Setelah sampai, ia kembali tidur pulas. Ketika bangun, hewan tunggangannya telah kembali berada di sisinya.” (HR Bukhari)
Manusia bisa juga disebut insan, karena mereka dalam hal-hal tertentu sering lupa dan lalai untuk berbuat kebaikan. Kelalaian ini akhirnya berujung dosa dan kesalahan akibat pelanggaran yang dilakukan terhadap rambu-rambu yang Allah SWT sudah tentukan. Padahal dosa adalah nilai buruk di sisi Allah SWT yang akan membuat seorang hamba menderita di hari akhirat kelak.
Pada hakikatnya, tidak ada manusia yang tidak pernah berbuat salah dan dosa. Ini yang Nabi SAW singgung dalam hadis yang lain, bahwa iman manusia itu sifatnya fluktuatif (kadang tinggi, sedang, dan rendah). Berbeda dengan imannya para Malaikat yang stabil, dan tak pernah berubah. Atau berbeda pula dengan iman iblis yang selalu berada di tingkat rendahnya.
Pada saat manusia berada pada puncak keimanan, ia akan bisa melampaui iman para malaikat. Namun, ketika imannya rendah, ia bisa lebih rendah dari imannya iblis. Dalam Alquran, Allah SWT berfirman, ”Sesungguhnya Kami akan isi api neraka jahanam dengan kebanyakan jin dan manusia, karena mereka mempunyai hati, tetapi tidak digunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak digunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak digunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Al-A’raf: 179).
Ketika iman berada pada titik nadirnya yang paling menghawatirkan, di sinilah dosa-dosa itu bermunculan bak jamur yang tumbuh di musim hujan. Pada saat seperti ini, Allah SWT menegur hamba-hamba-Nya untuk segera bertaubat. Karena, dengan taubat itulah, seorang yang telah berdosa dijamin pasti akan diampuni, sehingga kembali lagi ke level iman tertingginya. ”Katakanlah [wahai Muhammad], ‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah akan mengampuni dosa-dosa kalian semuanya jika bertaubat. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Zumar: 53).
Lengah menjaga dan memperkuat iman berarti memudahkan syetan menguasai diri kita. Lengah mengingat Allah berarti melemahkan pertahanan diri dari serangan syetan. Lengah memadati waktu-demi waktu dengan amal shaleh berarti memudahkan diri terjerumus dalam tindakan salah atau sia-sia. Lengah mengendalikan diri dari penguasaan malas berbuat kebaikan berarti kemungkinan besar menyeret diri pada situasi yang berbuah penyesalan. Lengah membiarkan iman menurun drastis tanpa kesadaran dan perlawanan, adalah ancaman serius akan terjerumus pada su’ul khatimah!

Keteguhan Melahirkan Kesinambungan

TSABAT:Keteguhan Melahirkan Kesinambungan
“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Ibrahim (14): 27)
“Dan Sesungguhnya Kami telah berikan kepada Musa Al-Kitab (Taurat), maka janganlah kamu (Muhammad) ragu menerima (Al-Quran itu) dan Kami jadikan Al-Kitab (Taurat) itu petunjuk bagi Bani Israil. Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. Al Sajadah (32): 23-24)

Hidup itu kadang mendaki dan kadang menurun.
Saat mendaki kadang menemui tebing yang terjal, dan saat menurun berjumpa dengan lubang-lubang yang menganga. Kiri-kanan jalan pun bisa berupa sawah yang membentang atau jurang yang curam. Hidup itu selalu berhadapan dengan tantangan, besar atau kecil, mudah atau sulit. Perjalanan sebuah organisasi tak ubahnya seperti perjalanan hidup manusia, juga mengalami pasang surut dan berhadapan dengan rintangan dan tantangan.
Tantangan dan rintangan itu sejatinya adalah ujian sekaligus peluang untuk meningkatkan kapasitas personal dan komunal. “Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al Ankabut (29): 3) Bahwa ujian itu selalu ada dan terjadi. Kadang berbuah kesyukuran, kadang juga berbuah kekufuran. Saat berhadapan dengan ujian, ada yang mampu bersabar, yaitu al shadiqin (orang-orang yang benar). Ada yang tidak mampu bersabar saat berhadapan dengan bala` dan tidak mampu bersyukur ketika memperoleh nikmat. Mereka adalah para pendusta.
Tsabat bermakna teguh pendirian dan tegar dalam menghadapi ujian serta cobaan di jalan kebenaran. Dan tsabat bagai benteng bagi pemimpin dan orang-orang yang berada dalam kepemimpinannya. Ia sebagai daya tahan yang melahirkan sikap pantang menyerah. Tsabat itu ketahanan diri dalam menghadapi berbagai hal yang merintanginya, hingga organisasinya mampu meraih cita-cita dan merealisasikan tujuan-tujuannya. Dalam tsabat ada kemuliaan karena adanya konsistensi pada prinsip yang diyakininya serta tidak larut bersama arus.
Tsabat itu berarti senantiasa bekerja dan berjuang, menempuh perjalanan yang amat panjang sampai batas akhir terminal kehidupan, dengan kemenangan di dunia ataupun gugur di medan laga.([1]“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah SWT. maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada pula yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah janjinya”. (QS. Al Ahzab (33): 23).
Tantangan kesinambungan suatu organisasi berupa faktor-faktor internal maupun eksternal. Faktor eksternal adalah pihak-pihak luar yang tidak menginginkan organisasi tersebut tumbuh dan berkembang. Mereka berupaya untuk memangkas pertumbuhannya atau mematikannya. Sebab dengan tumbuhnya organisasi itu akan bertabrakan dengan kepentingannya. Adapun tantangan internal berupa sikap, perilaku, moral yang dimiliki para anggota atau kebijakan-kebijakan internal organisasi itu yang menyimpang dari idealitas.
Rasulullah -shalla Allahu `alaihi wa sallama- pernah mendapat tawaran menggiurkan dengan syarat meninggalkan dakwah yang beliau tekuni. Imbalannya cukup besar; kekuasaan, kekayaan atau wanita. Tetapi dengan tegar beliau menolak dan membaca firman Allah, “Haa Miim. Diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui, yang membawa berita gembira dan yang membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling, tidak mau mendengarkan…”. (QS. Fushilat (41): 1- sampai dengan ayat 13).([2])
Pada perang Tabuk ada palajaran berharga tentang tsabat ini. Perang Tabuk atau dikenal juga dengan ghazwa al `usrah (peperangan sulit) adalah ujian bagi kaum muslimin. Yang beriman dipastikan turut serta dalam peperangan itu, sementara orang-orang munafik dipastikan tidak turut serta. Tapi ada tiga orang mukmin, dikarenakan udzur, tidak turut dalam peperangan yang tejadi di bulan Rajab tahun ke-9 hijriyah itu, yaitu Ka`ab bin Malik, Hilal bin Umayyah dan Mararah bin Rabi`.
Karena absen dari peperangan, Rasulullah menjatuhkan sanksi. Ka`ab dan dua sahabatnya dikucilkan oleh Rasulullah dan para sahabat. Bahkan istri-istri mereka juga tidak menegur. Hukuman itu berlangsung sekitar 50 hari. Sanksi itu dirasa berat oleh ketiga sahabat itu hingga bumi yang luas terasa sempit. Ka`ab bin Malik bercerita, di saat merasakan pedihnya sanksi itu, datang utusan Raja Ghassan membawa surat untuknya. Surat itu sebagai bentuk solidaritas dari Raja Ghassan untuk Ka`ab dan teman-temannya yang tengah menjalani hukuman. Dalam suratnya Ghassan memberi tawaran kepada Ka`ab untuk meninggalkan Muhammad dan para sahabatnya, Ka`ab akan diberi kedudukan terhormat.             Setelah membaca surat itu Ka`ab berkomentar, “Wa hadza aidlan min al bala`’, tawaran ini adalah musibah dan ujian juga.([3]) Ka`ab menolak, meskipun ia terbebani sanksi, godaan dan tawaran dari Raja Ghassan tidak mampu melunturkan keteguhan Ka`ab untuk tetap setia kepada Nabi Muhammad -shalla Allahu `alaihi wa sallama- dan kaumnya.
“Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan  kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Taubah (9): 118)
Pada masa khalifah Al Ma`mun terjadi fitnah khalqu al Quran (Al Quran sebagai makhluk). Imam Ahmad bin Hambal sangat tegar menghadapi ujian tersebut dengan tegas ia menyatakan bahwa Al Qur’an adalah kalamullah, bukan makhluk sebagaimana yang diinginkan Khalifah. Dengan tuduhan sesat dan menyesatkan kaum muslimin, Imam Ahmad bin Hambal menerima hukuman penjara dan cambuk. Salah satu murid beliau datang dan meminta kepada sang Imam untuk menuruti saja apa yang diinginkan oleh khalifah. Imam Ahmad menjawab, “Lihatlah di luar! Masyarakat membawa kertas dan pena, mereka menanti apa jawabanku kemudian mereka akan menulisnya. (Bila aku katakan demikian), diriku selamat tapi aku membuat mereka tersesat.”([4])
Namun tidak sedikit orang yang kendur daya tahannya. Ada yang berguguran karena tekanan materi. Tergoda oleh rayuan harta benda, membuatnya berani mengkhianati hati nurani dan cita-cita organisasi. Bahkan ia akhirnya sangat haus dan rakus pada harta benda duniawi yang fana ini. Dan ia jadikan harta benda itu sebagai tuhannya. Ada pula yang rontok daya juangnya karena tekanan keluarga. Keluarganya menghendaki sikap hidup yang berbeda dengan nilai dan keyakinannya. Ada juga yang tidak tahan karena tekanan politik yang sangat keras.
Oleh karena itu sikap tsabat mesti berlandaskan istiqamah pada petunjuk- petunjuk suci (al istiqamah `ala al huda). Berpegang teguh pada ketaqwaan dan kebenaran hakiki, tidak mudah terbujuk oleh bisikan nafsu dan tekanan orang lain. Sehingga diri kukuh untuk memegang janji dan komitmen pada nilai-nilai kesucian. Ia tidak memiliki keinginan sedikit pun untuk menyimpang.
Tsabat melahirkan keberanian menghadapi realita hidup. Ia tidak cengeng dengan beragam persoalan. Malah ia mampu mengendalikan permasalahan. “Hai orang-orang yang beriman apabila kamu menghadapi satu pasukan maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah nama Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung”. (QS. Al Anfal (8): 45).
Al Buhturi dalam baris syairnya mengungkapkan bahwa jiwa yang berani akan siap menghadapi resiko apapun dan akan tetap tegar berdiri di atas keyakinannya, ‘nafsun tudhi’u wa himmatun tatawaqqadu, jiwa yang menerangi dan cita-cita yang menggelora’. Sebab jiwa yang semacam itu menjadi bukti bahwa ia benar dalam mengarungi bahtera hidupnya.
Tsabat mengantarkan pada ketenangan hati. Ketenangan hati menumbuhkan kepercayaan. Kepercayaan menjadi modal utama dalam berinteraksi dengan banyak kalangan. Karena itu sikap tsabat menjadi cermin kepribadian. Dan cermin itu berada pada bagaimana sikap dan jiwanya dalam menjalani arah hidupnya, juga bagaimana ia menyelesaikan masalah-masalahnya.
Semua orang sangat membutuhkan cermin untuk memperbaiki dirinya. Dari cermin  kita dapat mengarahkan sikap salah kepada sikap yang benar. Dan cermin amat membantu untuk mempermudah menemukan kelemahan diri sehingga dengan cepat mudah diperbaikinya. Rasulullah –Shalla Allahu `alaihi wa sallama- mendudukan peran seorang mukmin bagi cermin bagi mukmin lainnya.([5])
Tsabat adalah cermin diri. Karena tsabat dapat menjadi mesin penggerak jiwa-jiwa yang rapuh. Ia dapat mengokohkannya. Tidak sedikit orang yang jiwanya mati, tapi hidup kembali karena mendapatkan energi dari ketsabatan seseorang. Ia bagai inspirasi yang mengalirkan udara segar terhadap jiwa yang limbung menghadapi segala kepahitan. Seorang ulama mengingatkan, “Berapa banyak orang yang jiwanya mati kemudian menjadi hidup, dan jiwa yang hidup menjadi layu karena daya tahan yang dimiliki seseorang”. Dan disitulah fungsi dan peran tsabat.
Setiap kesuksesan dan kejayaan memerlukan sikap tsabat dan istiqamah dalam mengarungi aneka ragam bentuk kehidupan. Tentu tidak akan ada kesuksesan dan kejayaan secara cuma-cuma. Ia hanya akan dapat dicapai manakala kita memiliki prasyaratnya. Yakni sikap tetap istiqamah menjalani hidup ini. Keteguhan hati merupakan benteng yang sesungguhnya. Bagi yang memperkokoh bentengnya niscaya ia tidak akan mudah goyah oleh badai sekencang apapun.
Kegemilangan organisasi hanya dapat diraih oleh sikap konsisten terhadap prinsip. Tidak mudah larut oleh desakan kepentingan yang mengarah pada kecenderungan duniawi. Tanpa sikap tsabat, akan mudah terseret pada putaran kehancuran dan kerugian dunia dan akhirat. “Dan sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap Kami. Dan kalau sudah begitu tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia. Dan kalau Kami tidak memperkuat hatimu niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka. Kalau terjadi demikian benar-benarlah Kami akan rasakan kepadamu siksaan berlipat ganda di dunia ini dan begitu pula siksaan berlipat pula sesudah mati dan kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun terhadap Kami”. (QS. Al Isra’ (17): 73 – 75). Sikap ini menjadi daya tahan terhadap tantangan apapun dan dari sanalah ia mencapai kejayaannya. Sebagaimana yang diingatkan Rasulullah -shalla Allahu `alaihi wa sallama- pada Khabab bin Al ‘Arts agar tetap bersabar dan berjiwa tegar menghadapi ujian, bukan dengan sikap yang tergesa-gesa.([6]) Apalagi dengan sikap yang menginginkan hidup ini tanpa hambatan dan sumbatan.
Untuk mencapai sasaran hidup yang dikehendaki tidak ada jalan lain kecuali dengan bermodal tsabat. Teguh meniti jalan yang sedang dilaluinya, meskipun perlahan-lahan. Dalam dunia fabel dikisahkan kura-kura dapat mengalahkan kancil mencapai suatu tempat. Kura-kura meski jalan pelan-pelan namun akhirnya menghantarkan dirinya pada tempat yang dituju.
Imam ‘Athaillah al Sakandary menasehati muridnya untuk selalu tekun dalam berbuat agar meraih harapannya dan tidak cepat lelah atau putus asa untuk mendapatkan hasilnya. ‘Barang siapa yang  menggali sumur lalu berpindah pada tempat yang lain untuk menggali lagi dan seterusnya berpindah lagi maka selamanya ia tidak akan menemukan air dari lobang yang ia gali. Tapi bila kamu telah menggali lobang galilah terus hingga kamu dapatkan air darinya meski amat melelahkan’. Karenanya ketekunan dan ketelatenan menjdi alat bantu untuk mencapai  cita-cita dan harapan yang dikehendakinya. Dan kedua hal itu merupakan pancaran sikap tsabat seseorang.
“Duhai pemilik hati, wahai pembolak balik jiwa, teguhkanlah hati dan jiwa kami untuk senantiasa berpegang teguh pada agama-Mu dan ketaatan di jalan-Mu”.([7])

([1]) Hasan al Banna, Majmu`ah Rasail, 398. ([2]) Ali Muhammad al Shallabi, Sirah Nabawiyah,  vol. 1, hlm. 205.
([3]) Muhammad Said Ramadhan al Buthy, Fiqh al Sirah al Nabawiyah, hlm. 439.
([4]) Tadzkira al Naqib, (Maktabah al Syamilah, Edisi II), hlm. 16.
([5]) Sunan Abi Daud, No. 4272.
([6]) Muhammad Said Ramadhan al Buthy, Fiqh al Sirah al Nabawiyah, hlm. 118.
([7]) Sunan Turmudzi, No. 2066.

Sumber:IkadiMalang

Hati-hati dengan Mata

”Mata adalah panglima hati. Hampir semua perasaan dan perilaku awalnya dipicu oleh pandangan mata. Bila dibiarkan mata memandang yang dibenci dan dilarang, maka pemiliknya berada di tepi jurang bahaya. Meskipun ia tidak sungguh-sungguh jatuh ke dalam jurang”. Demikian potongan nasihat Imam Ghazali rahimahullah dalam kitab Ihya Ulumuddin.
Beliau memberi wasiat agar tidak menganggap ringan masalah pandangan. Ia juga mengutip bunyi sebuah sya’ir, “Semua peristiwa besar awalnya adalah mata. Lihatlah api besar yang awalnya berasal dari percikan api.”
Hampir sama dengan bunyi sya’ir tersebut, sebagian salafushalih mengatakan, “Banyak makanan haram yang bisa menghalangi orang melakukan shalat tahajjud di malam hari. Banyak juga pandangan kepada yang haram sampai menghalanginya dari membaca Kitabullah.”
Semoga Allah memberi naungan barakahNya kepada kita semua. Fitnah dan ujian tak pernah berhenti. Sangat mungkin, kita kerap mendengar bahkan mengkaji masalah mata. Tapi belum tentu kita termasuk dalam kelompok orang yang bisa memelihara pandangan mata. Padahal, seperti diungkapkan oleh Imam Ghazali tadi, orang yang keliru menggunakan pandangan, berarti ia terancam bahaya besar karena mata adalah pintu paling luas yang bisa memberi banyak pengaruh pada hati.
Menurut Imam Ibnul Qayyim, mata adalah penuntun, sementara hati adalah pendorong dan pengikut. Yang pertama, mata, memiliki kenikmatan pandangan. Sedang yang kedua, hati, memiliki kenikmatan pencapaian. “Dalam dunia nafsu keduanya adalah sekutu yang mesra. Jika terpuruk dalam kesulitan, maka masing-masing akan saling mecela dan mencerai,” jelas Ibnul Qayyim. Pemenuhan hasrat pencapaian seringkali menjadi dasar motivasi yang menggebu-gebu untuk mendapatkan atau menikahi seseorang. Padahal siap nikah dan siap jadi suami/istri adalah dua hal yang berbeda. Yang pertama, nuansa nafsu lebih dominan; sedangkan yang kedua, sarat dengan nuansa amanah, tanggung-jawab dan kematangan.
Simak juga dialog imajiner yang beliau tulis dalam kitab Raudhatul Muhibbin: “Kata hati kepada mata, “Kaulah yang telah menyeretku pada kebinasaan dan mengakibatkan penyesalan karena aku mengikutimu beberapa saat saja. Kau lemparkan kerlingan matamu ke taman dan kebun yang tak sehat. Kau salahi firman Allah, “Hendaklah mereka menahan pandangannya”. Kau salahi sabda Rasulullah saw, “Memandang wanita adalah panah beracun dari berbagai macam panah iblis. Barangsiapa meninggalkannya karena takut pada Allah, maka Allah akan memberi balasan iman padanya, yang akan didapati kelezatan dalam hatinya.” (HR.Ahmad)
Tapi mata berkata kepada hati, “Kau zalimi aku sejak awal hingga akhir. Kau kukuhkan dosaku lahir dan batin. Padahal aku hanyalah utusanmu yang selalu taat dan mengikuti jalan yang engkau tunjukkan. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya dalam tubuh itu ada segumpal darah. Jika ia baik, maka seluruh tubuh akan baik pula. Dan jika ia rusak, rusak pula seluruh tubuh. Ketahuilah, segumpal darah itu adalah hati ” (HR. Bukhari dan Muslim). Hati adalah raja. Dan seluruh tubuh adalah pasukannya. Jika rajanya baik maka baik pula pasukannya. Jika rajanya buruk, buruk pula pasukannya. Wahai hati, jika engkau dianugerahi pandangan, tentu engkau tahu bahwa rusaknya pengikutmu adalah karena kerusakan dirimu, dan kebaikan mereka adalah kebaikanmu . Sumber bencana yang menimpamu adalah karena engkau tidak memiliki cinta pada Allah, tidak suka dzikir kepada-Nya, tidak menyukai firman, asma dan sifat-sifatNya. Allah berfirman, “Sesungguhnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang ada di dalam dada”. (QS.AI-Hajj:46)
Banyak sekali kenikmatan yang menjadi buah memelihara mata. Coba perhatikan tingkat-tingkat manfaat yang diuraikan oleh Imam Ibnul Qayyim dalam Al-Jawabul Kafi Liman Saala Anid Dawa’i Syafi. “Memelihara pandangan mata, menjamin kebahagiaan seorang hamba di dunia dan akhirat. Memelihara pandangan, memberi nuansa kedekatan seorang hamba kepada Allah, menahan pandangan juga bisa menguatkan hati dan membuat seseorang lebih merasa bahagia, menahan pandangan juga akan menghalangi pintu masuk syaithan ke dalam hati.
Mengosongkan hati untuk berpikir pada sesuatu yang bermanfaat, Allah akan meliputinya dengan cahaya. Itu sebabnya, setelah firmanNya tentang perintah untuk mengendalikan pandangan mata dari yang haram, Allah segera menyambungnya dengan ayat tentang “nur”, cahaya. (Al-Jawabul Kafi, 21)
Perilaku mata dan hati adalah sikap tersembunyi yang sulit diketahui oleh orang lain, kedipan mata apalagi kecenderungan hati, merupakan rahasia diri yang tak diketahui oleh siapapun, kecuali Allah swt, “Dia (Allah) mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati “. (QS. Al-Mukmin: 9). Itu artinya, memelihara pandangan mata yang akan menuntun suasana hati, sangat tergantung dengan tingkat keimanan dan kesadaran penuh akan pengetahuan Allah yang tidak ada batasnya.
 
Copyright © IKATAN DA'I INDONESIA Ponorogo. Design by Web Directory | Download from Blog Template
CHEAP Kentucky Derby Tickets, Best Website Hosting, Premium Wordpress Themes